Penjelasan Hadits Taqririyah Beserta Contohnya Dalam Agama Islam

Kumpulan Pengertian, Penjelasan, Serta Contoh Hadits Taqririyah

Believe In Allah

Hadits dalam Islam memiliki kedudukan penting sebagai sumber hukum setelah Al-Qur’an. Salah satu jenis hadits yang sering dibahas dalam ilmu ushul fiqh adalah hadits taqririyah. Jenis hadits ini memperlihatkan bagaimana Nabi Muhammad SAW memberikan persetujuan terhadap suatu perbuatan atau ucapan sahabat tanpa menolak, mengingkari, ataupun memberikan koreksi.

Sikap diam atau pengakuan Nabi SAW menjadi tanda bahwa tindakan tersebut di perbolehkan dalam syariat. Oleh karena itu, hadits taqririyah di anggap sebagai salah satu bentuk sunnah tasyri’iyah, yaitu sunnah yang memiliki nilai hukum.

Gathering Ramadhan

Contoh Pendek 5 Hadits Taqririyah

Dengan mempelajari hadits taqririyah, kita bisa memahami betapa Islam adalah agama yang fleksibel, penuh hikmah, dan senantiasa memperhatikan kondisi umatnya.

1. Hadits tentang Memakan Daging Dhabb (Biawak Gurun)

Dalam sebuah riwayat sahih, sahabat Khalid bin Walid pernah memakan daging dhabb di hadapan Rasulullah SAW. Nabi tidak ikut memakannya, tetapi beliau juga tidak melarang.

عَنْ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ قَالَ: أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ بِضَبٍّ فَتَنَاوَلَهُ، فَذَكَرُوا أَنَّهُ حَرَامٌ، فَقَالَ: لَيْسَ حَرَامًا، وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِ قَوْمِي

Artinya: “Dibawakan kepada Rasulullah daging dhabb, lalu beliau diberitahu bahwa hal itu haram. Beliau bersabda, ‘Itu tidak haram, tetapi bukan makanan dari kaumku.’”(HR. Bukhari dan Muslim)

Hal ini menjadi dasar bahwa memakan daging dhabb tidak haram, meskipun bukan makanan yang biasa di konsumsi oleh Nabi. Dari sini, kita belajar bahwa Islam menghargai kebiasaan makanan lokal selama tidak bertentangan dengan hukum syariat.

2. Hadits tentang Suami Mencium Istri Saat Puasa

Diriwayatkan dari Aisyah RA bahwa Nabi SAW pernah mencium istrinya dalam keadaan berpuasa. Beliau tidak melarang hal tersebut, sehingga para ulama menyimpulkan bahwa ciuman tidak membatalkan puasa selama tidak menimbulkan syahwat berlebih.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ

Artinya: “Aisyah berkata, ‘Nabi SAW mencium (istrinya) saat sedang berpuasa.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjadi pelajaran penting bahwa Islam tidak mengekang ekspresi kasih sayang, namun tetap memberikan batasan agar ibadah puasa tetap terjaga kesuciannya.

3. Hadits tentang Tayamum

Dalam keadaan tidak ada air, seorang sahabat melakukan tayamum dengan mengusap wajah dan tangan. Nabi SAW mengakui tindakan tersebut dan menjelaskan bahwa hal itu sudah cukup.

عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ قَالَ: تَيَمَّمْتُ فَمَسَحْتُ وَجْهِي وَكَفَّيَّ فَقَالَ النَّبِيُّ: إِنَّمَا يَكْفِيكَ هَكَذَا

Artinya: “Ammar bin Yasir berkata, ‘Aku bertayamum dengan menyapu wajah dan kedua tanganku.’ Nabi bersabda, ‘Cukup seperti itu.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini menunjukkan betapa Islam memberikan kemudahan kepada umatnya. Tayamum hadir sebagai solusi ketika air tidak tersedia, sehingga ibadah tetap dapat di laksanakan tanpa memberatkan.

4. Hadits tentang Shalat Sunnah di Atas Kendaraan

Ibnu Umar RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW shalat sunnah di atas kendaraan beliau dengan memberi isyarat tanpa turun. Beliau juga tidak melarang sahabat yang melakukan hal serupa.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ، يُومِئُ إِيمَاءً

Artinya: “Ibnu Umar berkata, ‘Nabi SAW shalat di atas kendaraan beliau ke arah mana pun kendaraan itu menghadap, hanya dengan memberi isyarat.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjadi dalil bahwa ibadah sunnah memiliki keluwesan dalam praktiknya, terutama bagi musafir atau orang yang sedang bepergian. Baca juga: 6 Hadits Tentang Berbuat Baik Dalam Kehidupan Sehari-Hari Agar Menjadi Berkah

5. Hadits tentang Menyapu Khuff (Sepatu) saat Wudhu

Ali bin Abi Thalib RA meriwayatkan bahwa Nabi SAW membolehkan menyapu khuff (sepatu kulit) sebagai pengganti membasuh kaki ketika berwudhu, dengan batas waktu tertentu bagi musafir maupun orang yang menetap.

عَنْ عَلِيٍّ قَالَ: جَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ لِلْمُسَافِرِ، وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ

Artinya: “Ali berkata, ‘Nabi SAW menetapkan tiga hari tiga malam bagi musafir, dan sehari semalam bagi orang yang menetap.’” (HR. Muslim)

Ini adalah bentuk keringanan dalam syariat agar umat tidak kesulitan menjaga kesucian ketika menghadapi kondisi tertentu, seperti perjalanan jauh.

Marhaban Ya Ramadhan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *